*mulyadi indra hannas
Mengutip
sebuah ungkapan sahabat saya di SMA Negeri 1 Kotabunan bahwa “Guru bukanlah segala-galanya, tetapi
Segala-galanya dari Guru”. Rasanya ungkapan tersebut tak berlebihan dalam menggambarkan
peran Guru sebagai pencerah dalam upaya “memanusiakan
manusia” yang tentunya juga sebagai manusia biasa yang tak luput dari
kekhilafan. Dalam menjalankan tugas guru sering kali berhadapan dengan persoalan
klasik sebagai “penjaga moral” bangsa
dimana setiap saat mendapati siswa(i) yang melanggar peraturan sekolah baik
dalam hal perilaku keseharian sampai persoalan kedisiplinan, yang menuntut
kesabaran ekstra dalam penanganannya dan itu sudah menjadi “makanan harian”. Kondisi tersebut membutuhkan sebuah pendekatan
yang tentunya humanistik dan mengandung unsur didikan, artinya sanksi yang
diberikan masih dalam batas kewajaran seperti yang dilakukan seorang guru di
SMPN 6 Kulisusu kab. Buton Utara, dalam menangani siswanya yang melanggar
peraturan sekolah.
Pak
Bahtiar, yah., begitulah sapaannya,
beliau tercatat sebagai guru Matematika di SMPN 6 Kulisusu. Alih-alih ingin menegakkan aturan di
sekolah, malah berujung di sel tahanan. Saya pun kaget usai menyimak berita di KendariNews.com Selasa (14/10/2014).
Saya dan kawan-kawan akhirnya terdorong mencari kejelasan berita tersebut, dan
Alhasil kami menemukan informasi terkait kronologi yang terjadi di SMPN 6
Kulisusu dari berbagai sumber yang layak dipercaya serta dari rekan-rekan
seprofesi beliau. Nampaklah sebuah dilema seorang pendidik, yang berupaya
bersikap adil dalam pemberian reward-punishment,
namun juga diperhadapkan kenyataan akan massifnya
sejumlah pelanggaran akibat longgarnya penerapan sanksi.
Pagi itu mungkin hari yang begitu apes bagi pak Bahtiar, ia tak menyangka
jika sanksi atas pelanggaran kedisiplinan yang diberikan terhadap sejumlah
siswanya berbalik menjadi boomerang,
pasalnya pendekatan yang masih tergolong lumrah di sekolah tersebut dan relatif
ringan, spontan membuat beliau kaget. (baca beritanya di
link berikut ini http://www.kendarinews.com/content/view/13245/446/ ) rupanya salah seorang siswa yang berinisial
NH yang duduk di kelas IX, tak terima perlakuan tersebut, spontan pula ia
mengadu ke orang tua lalu melaporkan pak Bahtiar ke Polsek Kulisusu. Dan
sekarang status beliau sebagai tersangka dan sementara mendekam di sel tahanan
Polsek Kulisusu. Mungkin tak sulit menggambarkan separah apa efek bekas yang timbul
di badan ‘korban’? yang kenyataannya bukan diarahkan pada bagian-bagian yang
rawan pada tubuh (di betis). Lalu
separah apakah efek kerugian yang ditimbulkan dari pendekatan yang dilakukan
pak guru Bahtiar? Inilah yang menjadi keresahan kami selaku pemerhati
pendidikan sekaligus selaku pedagog.
Setidaknya
ada beberapa somasi, kritikan, sekaligus saran yang hendak saya layangkan. Yang Pertama…, Sungguh tak bijak bahwa
persoalan yang terjadi di institusi sekolah harus digiring ke Kepolisian,
harusnya pihak Polsek Kulisusu bijak memaknai masalah ini, mengembalikan
persoalan ini ke pihak sekolah. Dan kalaupun dibutuhkan peran aparat maka
hendaknya mereka bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan masalah, bukan
justru guru yang bersangkutan di B A P lalu kemudian dijebloskan ke Sel. Dimana
prinsip pengayoman sebagai aparat? Atau mungkin pak Kapolsek tak paham dan
begitu mudah “dikondisikan” atau diintimidasi oleh pihak pelapor?
Yang kedua…,
Sungguh ironi dan tak adil rasanya jika masalah ini kita dudukkan Cuma pada
persoalan HAM ataupun Pidana murni. Jangan dulu berbicara HAM jika PAYUNG HUKUM bagi para guru dalam
menjalankan tugasnya Tidak Ada..! Bukankah itu juga bentuk Pelanggaran Hak
Azasi? Dimana guru dengan mudah di Kriminalisasi
cuma lantaran persoalan sepeleh alias tidak berdampak fatal /rasa sakit yang
berlebihan dalam konteks sanksi dan efek jerah. Pun menyoal Perlindungan Anak, rasanya pak Bahtiar
cs lebih memahami dan peka persoalan itu.
Yang ketiga…,
dimana peran PGRI atau organ sejenisnya seperti IGI SULTRA (Ikatan Guru Indonesia
– Sultra)? Sangat disesalkan ketika di depan mata kita menyaksikan ada praktek Kriminalisasi terhadap Guru
sementara organisasi sekelas PGRI yang tergolong “Opa rentah” itu cuma diam membisu. Begitu “mandul”nya Organisasi yang satu ini,
yang dimana ribuan bahkan jutaan guru menggantungkan espektasi agar dapat peka
meng-advokasi berbagai kepentingan dan problem para guru. Apakah nanti sampai
para orang tua siswa berbondong-bondong mengadu ke Diknas karena anak-anak
mereka sudah berhari-hari tidak belajar di sekolahan lantaran para guru lainnya
melakukan aksi mogok sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas mereka?? #Ahh..,sudahlah
berharap lebih., mungkin mereka Cuma tertarik pada urusan Pilkada yang
cenderung “lacur” dan berafiliasi
terhadap Kandidat kepala daerah tertentu.
Dari
sekelumit fenomena tersebut tentu timbul keresahan tersendiri bagi mereka yang concern sebagai pendidik, bukan tidak
mungkin akan timbul lebih banyak lagi “Bahtiar-Bahtiar”
lainnya melalui pola-pola kriminalisasi
seperti di atas. Sementara di sisi yang sama para pendidik tersebut
menginginkan anak didiknya menjadi insan yang terpelajar, sopan dan penuh
kedisiplinan, yang tentunya tidak menegasikan
pemberian sanksi bagi siswa(i) yang melanggar Peraturan, tetapi sanksi yang
manusiawi, dalam batasan kewajaran. Sehingga akan bermakna pula baik-buruk, disiplin-tak disiplin, atau
rajin-malas.
Tak
ada jalan yang lebih bijak selain terfasilitasinya kedua belah pihak dalam
rangka menempuh upaya damai agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan
terhormat. Moga peristiwa ini dapat mengajak kita untuk merefleksi akan tugas
dan peran kita, baik sebagai pendidik, siswa, instansi terkait, maupun sebagai
pemerhati pendidikan. Khusus buat Pak Bahtiar, S.Pd moga diberikan ketabahan
dalam menjalani cobaan tersebut, sembari mencari keadilan dan hak para guru yang
selama ini terpinggirkan.
*penulis
adalah pemerhati Pendidikan serta pedagog di salah satu Sekolah Menengah Atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar