Rabu, 22 Oktober 2014

Pak Guru Bahtiar, Oh..,Malangnya Nasibmu


*mulyadi indra hannas

Mengutip sebuah ungkapan sahabat saya di SMA Negeri 1 Kotabunan bahwa “Guru bukanlah segala-galanya, tetapi Segala-galanya dari Guru”. Rasanya ungkapan tersebut tak berlebihan dalam menggambarkan peran Guru sebagai pencerah dalam upaya “memanusiakan manusia” yang tentunya juga sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan. Dalam menjalankan tugas guru sering kali berhadapan dengan persoalan klasik sebagai “penjaga moral” bangsa dimana setiap saat mendapati siswa(i) yang melanggar peraturan sekolah baik dalam hal perilaku keseharian sampai persoalan kedisiplinan, yang menuntut kesabaran ekstra dalam penanganannya dan itu sudah menjadi “makanan harian”. Kondisi tersebut membutuhkan sebuah pendekatan yang tentunya humanistik dan mengandung unsur didikan, artinya sanksi yang diberikan masih dalam batas kewajaran seperti yang dilakukan seorang guru di SMPN 6 Kulisusu kab. Buton Utara, dalam menangani siswanya yang melanggar peraturan sekolah.
Pak Bahtiar,  yah., begitulah sapaannya, beliau tercatat sebagai guru Matematika di SMPN 6 Kulisusu. Alih-alih ingin menegakkan aturan di sekolah, malah berujung di sel tahanan. Saya pun kaget usai menyimak berita di KendariNews.com Selasa (14/10/2014). Saya dan kawan-kawan akhirnya terdorong mencari kejelasan berita tersebut, dan Alhasil kami menemukan informasi terkait kronologi yang terjadi di SMPN 6 Kulisusu dari berbagai sumber yang layak dipercaya serta dari rekan-rekan seprofesi beliau. Nampaklah sebuah dilema seorang pendidik, yang berupaya bersikap adil dalam pemberian reward-punishment, namun juga diperhadapkan kenyataan akan massifnya sejumlah pelanggaran akibat longgarnya penerapan sanksi.
Pagi itu mungkin hari yang begitu apes bagi pak Bahtiar, ia tak menyangka jika sanksi atas pelanggaran kedisiplinan yang diberikan terhadap sejumlah siswanya berbalik menjadi boomerang, pasalnya pendekatan yang masih tergolong lumrah di sekolah tersebut dan relatif ringan, spontan membuat beliau kaget. (baca beritanya di link berikut ini http://www.kendarinews.com/content/view/13245/446/ ) rupanya salah seorang siswa yang berinisial NH yang duduk di kelas IX, tak terima perlakuan tersebut, spontan pula ia mengadu ke orang tua lalu melaporkan pak Bahtiar ke Polsek Kulisusu. Dan sekarang status beliau sebagai tersangka dan sementara mendekam di sel tahanan Polsek Kulisusu. Mungkin tak sulit menggambarkan separah apa efek bekas yang timbul di badan ‘korban’? yang kenyataannya bukan diarahkan pada bagian-bagian yang rawan pada tubuh (di betis). Lalu separah apakah efek kerugian yang ditimbulkan dari pendekatan yang dilakukan pak guru Bahtiar? Inilah yang menjadi keresahan kami selaku pemerhati pendidikan sekaligus selaku pedagog.
Setidaknya ada beberapa somasi, kritikan, sekaligus saran yang hendak saya layangkan. Yang Pertama…, Sungguh tak bijak bahwa persoalan yang terjadi di institusi sekolah harus digiring ke Kepolisian, harusnya pihak Polsek Kulisusu bijak memaknai masalah ini, mengembalikan persoalan ini ke pihak sekolah. Dan kalaupun dibutuhkan peran aparat maka hendaknya mereka bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan masalah, bukan justru guru yang bersangkutan di B A P lalu kemudian dijebloskan ke Sel. Dimana prinsip pengayoman sebagai aparat? Atau mungkin pak Kapolsek tak paham dan begitu mudah “dikondisikan” atau diintimidasi oleh pihak pelapor?
Yang kedua…, Sungguh ironi dan tak adil rasanya jika masalah ini kita dudukkan Cuma pada persoalan HAM ataupun Pidana murni. Jangan dulu berbicara HAM jika PAYUNG HUKUM bagi para guru dalam menjalankan tugasnya Tidak Ada..! Bukankah itu juga bentuk Pelanggaran Hak Azasi? Dimana guru dengan mudah di Kriminalisasi cuma lantaran persoalan sepeleh alias tidak berdampak fatal /rasa sakit yang berlebihan dalam konteks sanksi dan efek jerah. Pun menyoal Perlindungan Anak, rasanya pak Bahtiar cs lebih memahami dan peka persoalan itu.
Yang ketiga…, dimana peran PGRI atau organ sejenisnya seperti IGI SULTRA (Ikatan Guru Indonesia – Sultra)? Sangat disesalkan ketika di depan mata kita menyaksikan ada praktek Kriminalisasi terhadap Guru sementara organisasi sekelas PGRI yang tergolong “Opa rentah” itu cuma diam membisu. Begitu “mandul”nya Organisasi yang satu ini, yang dimana ribuan bahkan jutaan guru menggantungkan espektasi agar dapat peka meng-advokasi berbagai kepentingan dan problem para guru. Apakah nanti sampai para orang tua siswa berbondong-bondong mengadu ke Diknas karena anak-anak mereka sudah berhari-hari tidak belajar di sekolahan lantaran para guru lainnya melakukan aksi mogok sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas mereka?? #Ahh..,sudahlah berharap lebih., mungkin mereka Cuma tertarik pada urusan Pilkada yang cenderung “lacur” dan berafiliasi terhadap Kandidat kepala daerah tertentu.
Dari sekelumit fenomena tersebut tentu timbul keresahan tersendiri bagi mereka yang concern sebagai pendidik, bukan tidak mungkin akan timbul lebih banyak lagi “Bahtiar-Bahtiar” lainnya melalui pola-pola kriminalisasi seperti di atas. Sementara di sisi yang sama para pendidik tersebut menginginkan anak didiknya menjadi insan yang terpelajar, sopan dan penuh kedisiplinan, yang tentunya tidak menegasikan pemberian sanksi bagi siswa(i) yang melanggar Peraturan, tetapi sanksi yang manusiawi, dalam batasan kewajaran. Sehingga akan bermakna pula baik-buruk, disiplin-tak disiplin, atau rajin-malas.
Tak ada jalan yang lebih bijak selain terfasilitasinya kedua belah pihak dalam rangka menempuh upaya damai agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan terhormat. Moga peristiwa ini dapat mengajak kita untuk merefleksi akan tugas dan peran kita, baik sebagai pendidik, siswa, instansi terkait, maupun sebagai pemerhati pendidikan. Khusus buat Pak Bahtiar, S.Pd moga diberikan ketabahan dalam menjalani cobaan tersebut, sembari mencari keadilan dan hak para guru yang selama ini terpinggirkan.

*penulis adalah pemerhati Pendidikan serta pedagog di salah satu Sekolah Menengah Atas.

Rabu, 23 April 2014


PUISI BLACK CAMPAIGN ?? ; Bernilai Politis Atas Nama Seni

Patriotik, haru biru dan bersahaja, setidaknya itulah pemandangan yang tampak disaat salah seorang siswa tampil membacakan Puisinya pada Festival  dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kab.Boltim, Kamis 03 april 2014. Yah..! Delfrita Johanis yang  akrab disapa Ikha, siswa SMA Negeri 1 Kotabunan, dengan ritme dan tone yang meyakinkan seakan menghipnotis penonton, suaranya membahana laksana membelah langit “Mongondow belahan Timur”.
Dari ekspresi dan ungkapan-ungkapan di atas bukanlah tanpa alasan, keduanya terintegrasi pada apa yang kita sebut keluhuran Seni…! Dan lebih jauh tentang keluhuran dan esensi Seni hendaklah menampilkan realitas dan keindahan.
Pada saat yang sama kita pun menyaksikan kontestasi perpolitikan dengan atraktif "menggoreng-goreng" Seni/sastra sebagai manifestasi kegalauan dari kubu lawan, dan lahirlah (katanya) karya Seni yang berlirik sinis dengan judul "Air Mata Buaya" dan "Sajak Seekor Ikan" karya Fadli Zon, wakil ketua umum partai Gerindra. Mudah untuk menginterpretasi kepada siapa Puisi tersebut dialamatkan, publik kemudian menghubung-hubungkan isi “puisi” itu dengan PDI Perjuangan serta Capresnya, Jokowi. Tapi sudahlah, pun tidak begitu penting pada siapa “puisi” tersebut dialamatkan atau terkategori Black Campaign-kah? Atau tidak, sebab saya tidak mau terjebak pada ranah politisnya, (maka jelas bahwa ulasan yang saya buat sekadar serial Kritik Seni).
Lalu dengan gamang Puisi tersebut dibalas pula oleh Politikus PDI-P, Fachmi Habcyi dengan puisi berjudul "Pemimpin Tanpa Kuda", dan disusul puisi bertajuk "Rempong". ekh.., tak berselang lama Fadli berkotek lagi dengan karyanya berjudul "Sandiwara" dan yang terbaru berjudul "Raisopopo" (baca; Kompas, kamis 17 April 2014). Sungguh sebuah demonstrasi yang menempatkan Seni di level terendah, sebab yang tampak pada karya-karya para politisi tersebut tak lebih hanyalah serangan politik yang sangat liar, membabi-buta.
Hemat saya “serangan politik”, hujat-menghujat sah-sah saja, namun kemudian begitu menyedihkan ketika itu “dibungkus” atas nama karya Seni (puisi). Bukankah itu adalah bentuk “pelacuran” seni? Kualitas karya seni/sastra yang mana yang tampak pada para politisi tersebut?, Jika yang tampak hanyalah hujatan, pun sulit merinci nilai kebenaran seperti apa yang mereka sampaikan. Bagaimana mungkin sebuah karya seni menegasikan sebuah kebenaran/fakta?
Mungkin dari segi fisik, karya tersebut bisa saja dikategorikan karya Puisi, seperti apa yang digambarkan oleh Waluyo (1987) ”bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan…”. Namun tidak berhenti disitu saja, terdapat unsur-unsur di dalam puisi “selain hakekat, juga ada metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata-nyata, ritme, dan rima” (Richards, dalam Tarigan, 1986). Jelas bahwa karya yang baik, haruslah memenuhi unsur-unsur diatas. Lalu bagaimana dengan puisi aneh para politisi itu? Terang saya akan mengatakan bahwa itu bukan karya seni/sastra. Yang pada akhirnya harus “ngesot” ketempat sampah.
Sering kali kita mendistorsi hakikat seni itu sendiri yang ditunggangi berbagai kepentingan pragmatis. Tak jarang pula kita menyepelehkan esensi dari kebenaran Seni. Sekedar menyegarkan kembali bahwa Seni disejajarkan dengan tiga lembaga kebenaran lainnya. Tiga lembaga kebenaran tersebut yakni FILSAFAT, dan ILMU, bahkan lembaga kebenaran yang paling tua dalam sejarah umat manusia yakni AGAMA atau sistem kepercayaan.
Kodrat Seni dan politik sungguh bertentangan secara diametral kalau dilihat dari sisi pencarian kebenaran. Kebenaran politik amat bersifat sektarian, kontekstual, dan sementara, sedangkan seni bersifat umum, universal, dan kekal. Bagaimana pun, dunia politik dan dunia seni berada ditempat yang saling berseberangan, yang satu material-duniawi dan yang lain rohani. Seni tidak mungkin mengabdi kepada kepentingan politik, sebab akan mengingkari kodratnya. Sementara itu, apakah mungkin politik mengabdi pada Seni??? Inilah yang kita harapkan tentunya. Tetapi, dalam catatan sejarah, mana ada politik mengabdi kepada Seni? Memang banyak kekuasaan dalam sejarah yang mengembangkan seni, tetapi itu hanya sebagian saja dari kegiatan duniawinya. Perhatian politik kepada Seni tetap demi untuk kepentingan politik.


Tombolikat, 21 april 2014 ]  04:15 pm
mulyadi indra hannas