Rabu, 23 April 2014


PUISI BLACK CAMPAIGN ?? ; Bernilai Politis Atas Nama Seni

Patriotik, haru biru dan bersahaja, setidaknya itulah pemandangan yang tampak disaat salah seorang siswa tampil membacakan Puisinya pada Festival  dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kab.Boltim, Kamis 03 april 2014. Yah..! Delfrita Johanis yang  akrab disapa Ikha, siswa SMA Negeri 1 Kotabunan, dengan ritme dan tone yang meyakinkan seakan menghipnotis penonton, suaranya membahana laksana membelah langit “Mongondow belahan Timur”.
Dari ekspresi dan ungkapan-ungkapan di atas bukanlah tanpa alasan, keduanya terintegrasi pada apa yang kita sebut keluhuran Seni…! Dan lebih jauh tentang keluhuran dan esensi Seni hendaklah menampilkan realitas dan keindahan.
Pada saat yang sama kita pun menyaksikan kontestasi perpolitikan dengan atraktif "menggoreng-goreng" Seni/sastra sebagai manifestasi kegalauan dari kubu lawan, dan lahirlah (katanya) karya Seni yang berlirik sinis dengan judul "Air Mata Buaya" dan "Sajak Seekor Ikan" karya Fadli Zon, wakil ketua umum partai Gerindra. Mudah untuk menginterpretasi kepada siapa Puisi tersebut dialamatkan, publik kemudian menghubung-hubungkan isi “puisi” itu dengan PDI Perjuangan serta Capresnya, Jokowi. Tapi sudahlah, pun tidak begitu penting pada siapa “puisi” tersebut dialamatkan atau terkategori Black Campaign-kah? Atau tidak, sebab saya tidak mau terjebak pada ranah politisnya, (maka jelas bahwa ulasan yang saya buat sekadar serial Kritik Seni).
Lalu dengan gamang Puisi tersebut dibalas pula oleh Politikus PDI-P, Fachmi Habcyi dengan puisi berjudul "Pemimpin Tanpa Kuda", dan disusul puisi bertajuk "Rempong". ekh.., tak berselang lama Fadli berkotek lagi dengan karyanya berjudul "Sandiwara" dan yang terbaru berjudul "Raisopopo" (baca; Kompas, kamis 17 April 2014). Sungguh sebuah demonstrasi yang menempatkan Seni di level terendah, sebab yang tampak pada karya-karya para politisi tersebut tak lebih hanyalah serangan politik yang sangat liar, membabi-buta.
Hemat saya “serangan politik”, hujat-menghujat sah-sah saja, namun kemudian begitu menyedihkan ketika itu “dibungkus” atas nama karya Seni (puisi). Bukankah itu adalah bentuk “pelacuran” seni? Kualitas karya seni/sastra yang mana yang tampak pada para politisi tersebut?, Jika yang tampak hanyalah hujatan, pun sulit merinci nilai kebenaran seperti apa yang mereka sampaikan. Bagaimana mungkin sebuah karya seni menegasikan sebuah kebenaran/fakta?
Mungkin dari segi fisik, karya tersebut bisa saja dikategorikan karya Puisi, seperti apa yang digambarkan oleh Waluyo (1987) ”bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan…”. Namun tidak berhenti disitu saja, terdapat unsur-unsur di dalam puisi “selain hakekat, juga ada metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata-nyata, ritme, dan rima” (Richards, dalam Tarigan, 1986). Jelas bahwa karya yang baik, haruslah memenuhi unsur-unsur diatas. Lalu bagaimana dengan puisi aneh para politisi itu? Terang saya akan mengatakan bahwa itu bukan karya seni/sastra. Yang pada akhirnya harus “ngesot” ketempat sampah.
Sering kali kita mendistorsi hakikat seni itu sendiri yang ditunggangi berbagai kepentingan pragmatis. Tak jarang pula kita menyepelehkan esensi dari kebenaran Seni. Sekedar menyegarkan kembali bahwa Seni disejajarkan dengan tiga lembaga kebenaran lainnya. Tiga lembaga kebenaran tersebut yakni FILSAFAT, dan ILMU, bahkan lembaga kebenaran yang paling tua dalam sejarah umat manusia yakni AGAMA atau sistem kepercayaan.
Kodrat Seni dan politik sungguh bertentangan secara diametral kalau dilihat dari sisi pencarian kebenaran. Kebenaran politik amat bersifat sektarian, kontekstual, dan sementara, sedangkan seni bersifat umum, universal, dan kekal. Bagaimana pun, dunia politik dan dunia seni berada ditempat yang saling berseberangan, yang satu material-duniawi dan yang lain rohani. Seni tidak mungkin mengabdi kepada kepentingan politik, sebab akan mengingkari kodratnya. Sementara itu, apakah mungkin politik mengabdi pada Seni??? Inilah yang kita harapkan tentunya. Tetapi, dalam catatan sejarah, mana ada politik mengabdi kepada Seni? Memang banyak kekuasaan dalam sejarah yang mengembangkan seni, tetapi itu hanya sebagian saja dari kegiatan duniawinya. Perhatian politik kepada Seni tetap demi untuk kepentingan politik.


Tombolikat, 21 april 2014 ]  04:15 pm
mulyadi indra hannas