PUISI
BLACK CAMPAIGN ?? ; Bernilai Politis
Atas Nama Seni
Patriotik,
haru biru dan bersahaja, setidaknya itulah pemandangan yang tampak disaat salah
seorang siswa tampil membacakan Puisinya pada Festival dan Lomba Seni Siswa
Nasional (FLS2N) tingkat kab.Boltim, Kamis
03 april 2014. Yah..! Delfrita Johanis yang
akrab disapa Ikha, siswa SMA
Negeri 1 Kotabunan, dengan ritme dan tone yang meyakinkan seakan menghipnotis
penonton, suaranya membahana laksana membelah langit “Mongondow belahan Timur”.
Dari ekspresi dan
ungkapan-ungkapan di atas bukanlah tanpa alasan, keduanya terintegrasi pada apa
yang kita sebut keluhuran Seni…! Dan
lebih jauh tentang keluhuran dan esensi Seni hendaklah menampilkan realitas dan keindahan.
Pada saat yang sama kita pun menyaksikan
kontestasi perpolitikan dengan atraktif "menggoreng-goreng"
Seni/sastra sebagai manifestasi kegalauan
dari kubu lawan, dan lahirlah (katanya) karya Seni yang berlirik sinis dengan judul "Air Mata Buaya" dan "Sajak
Seekor Ikan" karya Fadli Zon, wakil ketua umum partai Gerindra.
Mudah untuk menginterpretasi kepada siapa Puisi tersebut dialamatkan, publik kemudian menghubung-hubungkan isi “puisi” itu dengan
PDI Perjuangan serta Capresnya, Jokowi. Tapi sudahlah, pun tidak begitu
penting pada siapa “puisi” tersebut dialamatkan atau terkategori Black Campaign-kah? Atau tidak, sebab
saya tidak mau terjebak pada ranah politisnya, (maka jelas bahwa ulasan yang
saya buat sekadar serial Kritik Seni).
Lalu dengan gamang Puisi tersebut dibalas pula oleh Politikus
PDI-P, Fachmi Habcyi dengan puisi berjudul "Pemimpin
Tanpa Kuda", dan disusul puisi bertajuk "Rempong". ekh.., tak
berselang lama Fadli berkotek lagi dengan
karyanya berjudul "Sandiwara" dan
yang terbaru berjudul "Raisopopo" (baca; Kompas, kamis 17
April 2014). Sungguh sebuah demonstrasi yang menempatkan Seni di level terendah, sebab yang
tampak pada karya-karya para politisi tersebut tak lebih hanyalah serangan politik
yang sangat liar, membabi-buta.
Hemat saya “serangan politik”,
hujat-menghujat sah-sah saja, namun kemudian begitu menyedihkan ketika itu “dibungkus” atas nama karya Seni
(puisi). Bukankah itu adalah bentuk “pelacuran” seni? Kualitas karya seni/sastra yang mana yang tampak pada para politisi
tersebut?, Jika yang tampak hanyalah hujatan, pun sulit merinci nilai kebenaran seperti apa yang mereka sampaikan.
Bagaimana
mungkin sebuah karya seni menegasikan sebuah
kebenaran/fakta?
Mungkin dari segi fisik, karya tersebut
bisa saja dikategorikan karya Puisi, seperti apa yang digambarkan oleh Waluyo (1987) ”bahwa dalam
puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan…”.
Namun tidak berhenti disitu saja, terdapat unsur-unsur di dalam puisi “selain hakekat, juga ada metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata-nyata, ritme,
dan rima” (Richards, dalam Tarigan, 1986). Jelas
bahwa karya yang baik, haruslah memenuhi unsur-unsur diatas. Lalu bagaimana dengan
puisi aneh para politisi itu? Terang saya akan mengatakan bahwa itu bukan karya
seni/sastra. Yang pada akhirnya harus “ngesot”
ketempat sampah.
Sering kali kita mendistorsi hakikat seni itu sendiri yang ditunggangi berbagai kepentingan
pragmatis. Tak jarang pula kita menyepelehkan esensi dari kebenaran Seni. Sekedar menyegarkan kembali bahwa Seni disejajarkan dengan tiga
lembaga kebenaran lainnya. Tiga lembaga kebenaran tersebut yakni FILSAFAT, dan ILMU,
bahkan lembaga kebenaran yang paling tua dalam sejarah umat manusia yakni AGAMA
atau sistem kepercayaan.
Kodrat
Seni dan politik sungguh bertentangan secara diametral kalau dilihat dari sisi pencarian kebenaran. Kebenaran politik
amat bersifat sektarian, kontekstual,
dan sementara, sedangkan seni bersifat umum, universal, dan kekal. Bagaimana
pun, dunia politik dan dunia seni berada ditempat yang saling berseberangan, yang
satu material-duniawi dan yang lain rohani. Seni tidak mungkin mengabdi kepada
kepentingan politik, sebab akan mengingkari kodratnya.
Sementara itu, apakah mungkin politik mengabdi pada Seni??? Inilah yang kita harapkan
tentunya. Tetapi, dalam catatan sejarah, mana ada politik mengabdi kepada Seni?
Memang banyak kekuasaan dalam sejarah yang mengembangkan seni, tetapi itu hanya
sebagian saja dari kegiatan duniawinya. Perhatian politik kepada Seni tetap demi
untuk kepentingan politik.
Tombolikat, 21 april 2014 ]
04:15 pm
mulyadi indra hannas